Udara Depok malam ini dingin. Biasanya tidak pernah
sedingin ini. “Tumben”, pikirku. Pendingin ruangan sudah aku matikan sejak
pagi. Bibir jendela kamar serasa sudah muak aku pandangi berjam-jam lamanya.
Tidak, aku tidak melamun. Pikiranku hanya sedang buntu. Hingga saat ini, aku
belum menemukan ujung maupun awalnya. Terlalu menggulung, kusut, rumit.
Masih jelas ingatan di benang-benang pikiranku, saat
gadis berambut panjang pergi dari hadapanku dengan cermin air di matanya.
Memori itu melekat seperti habis dioles dengan lem besi. Kuat.
Ah, bodoh.
Ku sulut satu batang berisi nikotin dan tar, kuhisap
lalu kuhembuskan dalam-dalam.
***
Rara saat ini ada disampingku, memakai gaun berwarna
pastel merah jambu dengan rambut gelombang berwarna ginger yang dibiarkan
terurai. Dia cantik, sempurna, pikirku. Kedua tangannya saling mengait dan
tatapannya lurus kedepan, khidmat memperhatikan pastur berbicara di depan
altar. Tidak ada tempat yang lebih baik yang aku inginkan selain disamping
perempuan yang sanggup membuat organ pemompa darah menjadi tak stabil. Aku
sungguh menyukainya. Tidak, tergila-gila malah. Perlahan dia menoleh kearahku
dan tersenyum bingung.
"Kenapa kamu merhatiin aku sebegitunya sih, pang?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat, malu. Aku yakin di pipiku saat
ini sedang ada semburat warna merah.
"Nggak apa-apa. Kamu cuma...cantik banget, Ra."
Rara tertawa kecil melihatku yang tiba-tiba canggung.
Dia kembali membentangkan pandangannya ke depan sedangkan aku kembali
menciptakan ilusi-ilusi dan pikiran di dunia egoku sendiri.
Satu persatu wujud seorang perempuan manis muncul
dipikiranku, entah darimana. Awalnya samar, lalu makin jelas. Dia, Aura.
Pelan-pelan pikiranku bergulat dengan perbandingan antara Aura dengan Rara.
Mereka tidak jauh berbeda. Hanya saja, semesta selalu bertindak di luar
kendali manusia. Aku mencintai Aura. Aku mencintai Rara. Namun, apa yang aku
tahu tentang cinta? Ya, cinta—perdebatan dari zaman Plato hingga kini yang tak
pernah ada habisnya.
Ya, aku mencintai perempuan yang sedang berdoa di
sampingku ini. Sementara di luar sana,
ada perempuan yang memberikan segala cinta yang aku butuhkan. Namun, aku tak
bisa memberikan apa yang ia butuhkan.
Ironis? Entahlah, tapi perasaan memang tidak pernah
sederhana.
Aku kira aku cukup mengerti tentang gagasan cinta.
Namun, setelahnya aku sadar bahwa aku hanyalah pura-pura mengerti untuk
menyembunyikan ketidaktahuanku. Tapi jika cinta hanya berbatas tentang dua
orang yang saling mencintai dan cinta mereka sama besarnya tanpa terhalang
suatu apapun, maka itu bukan cinta. Itu hanya
perasaan-perasaan temporer—tidak abadi—yang berlindung di balik
sebuah idealisme akan sakit dan bahagia disaat yang bersamaan.
Cinta?
***
Menjadi bahagia itu sederhana. Sesederhana merelakan
kalung kesayanganmu hilang ditelan lautan saat kau bermain dengan ombak.
Tidak ada pertaruhan tanpa resiko. Dan untuk jatuh
cinta adalah pertaruhan yang paling agung.
Kata mereka, dalam hidup, kita harus bertemu dengan
dua orang.
Pertama, orang yang kamu cintai tapi tidak
mencintaimu. Namun, hal itu bukan berarti ada sesuatu yang salah padamu atau
Tuhan sedang membuatkanmu skenario kejam. Kamu hanya sedang diberikan kesempatan
untuk terlatih mengenal rasa sakit yang abstrak dan tajam, merelakan, lalu
bangkit lagi.
Kedua, orang yang mencintaimu namun kamu tidak
mencintainya. Darinya, kamu akan belajar bahwa dicintai sebanyak itu adalah
anugerah. Dan bahwa merasa bahagia itu sederhana; merasa dihargai. Darinya, kamu
akan belajar bahwa kamu tidak bisa memilih seseorang berdasarkan belas kasihan.
Sekarang, bayangkan kamu menjadi aku, mana yang akan
kamu pilih? Membiarkan dirimu bersama orang yang mencintaimu namun kamu tidak
bisa bahagia bersamanya, atau bersama dengan orang yang kamu cintai namun
memberikanmu kebahagiaan tunggal?
Hidup kadang sederhana pula, pilihan-pilihannya lah
yang membuatnya menjadi sulit. Dan saat ini aku hanya membiarkan diriku sendiri
menjemput pahit dan getir kebimbangan.
Keren sekali artikelnya ..
BalasHapusCara Mengobati Sakit Kepala Paling Ampuh