Pages

Senin, 11 Mei 2015

Akhir

Kamu tau sebuah awal dan sebuah akhir? Ya, kedua hal itu ada di dunia seperti bayi kembar siam. Menempel, melekat dengan kuatnya di geligi setiap cerita. Mendobrak masuk ke dalam roda kehidupan tanpa bisa dipisahkan. Kamu tau kenapa sebuah akhir selalu berada diujung? Agar ia bisa memaksamu mengingat bagaimana sebuah awal mengambil alih pikiranmu. Sedangkan awal tidak pernah memperkenalkan sebuah akhir.
Tidak ada satu hal pun yang abadi kecuali keabadian akan akhir. Dan tidak ada yang mampu memprediksikan sebuah akhir. Kamu hanya harus mempersiapkan dirimu sebaik mungkin jika suatu saat kamu sudah mendekatinya atau saat kamu sadar bahwa inilah saat yang paling tepat untuk mempersilahkan sebuah akhir untuk masuk.
Lalu bagaimana jika sebuah akhir mengetuk pintu kamarmu terlalu cepat? Bagaimana jika ia datang pada saat kamu masih setengah sadar, saat kamu masih memakai baju tidur sehabis beradu dengan mimpi?
***
Jika semua memiliki akhir seperti yang memang sudah seharusnya, lalu mengapa setiap orang harus bersusah payah memulai?
***
Matahari sudah hilang sempurna sejak setengah jam lalu. Deru lafal adzan sudah berhenti sejak tadi dan gerimis mulai mengambil alih setelah senja habis. Revi duduk bersandar ke dinding warna pastel pucat yang dikotori tulisan tangan seorang perempuan yang kini sedang duduk disampingnya, setahun lalu. Sedang perempuan berambut sebahu itu sibuk menjelajahi setiap jengkal ruangan dengan matanya yang bulat sambil bersandar di sebelah Revi. Ruangan berukuran 4x5 meter itu masih terlihat sama dengan terakhir kali dikunjunginya. Hanya sedikit lebih terlihat berantakan dengan kabel charger, kaset game, plastik bekas dan baju-baju kotor Revi yang hampir menutupi seluruh lantai ruangan.
Namanya Nadira. Dan ia tampaknya masih belum lelah melucuti udara lembab dalam kamar Revi.
 Actually, I got many things that I wanna ask to you.” Suara Nadira beradu dengan suara televisi yang dibiarkan menyala.
“Apa?” Revi mendelikkan matanya. Dia cukup tahu jika Nadira sudah berbicara dengan bahasa asing seperti itu, maka hanya ada dua kemungkinan. Perempuan itu sedang sangat serius atau kesal.
But….” Nadira mengehela nafas pelan, “I don’t know where I should start.”
Revi memandangnya dengan wajah datar, “Well, kamu punya waktu semalaman untuk kamu bertanya dan aku akan menjawabnya.”
Mata Nadira mencari-cari sesuatu di dalam mata Revi. Menatapnya dalam dan lekat, seolah Nadira dapat menempelkan korneanya di dalam mata Revi.
“Hmm..bahasa Indonesia saja, ya,” potong Revi saat Nadira sudah berancang-ancang akan mengeluarkan sebaris pertanyaan.
Bibir Nadira seketika mengunci dirinya dari kata-kata yang hampir terlotar. Senyum kesal terlihat jelas di wajahnya yang dulu pernah membuat Revi terobsesi.
“Hmm..bagaimana bisa kamu memulai sesuatu yang sudah pasti kamu tahu memiliki akhir?” ucapnya setelah beberapa belas detik terdiam dan melayangkan matanya kearah dinding.
“Bagaimana bisa kamu memutuskan untuk tetap memelihara seekor hewan peliharaan, contohnya ikan, kalau kamu tau suatu saat nanti ikan itu juga bakalan mati? Semua hal punya akhirnya masing-masing, Dir. Nggak terkecuali hubungan,” sahut Revi.
Dahi Nadira mengerut. “Kala­­­u semua memiliki akhir kayak yang memang sudah seharusnya, kenapa setiap orang harus bersusah payah memulai?”
“Karena kamu ingin.”
“Maksudmu?” Kerutan di dahi Nadira terlihat makin nampak. Dia terlalu tersesat dengan pikiran Revi. Pikirannya terlalu rumit, dan ada pelindung di setiap sisinya yang tidak satu orang pun termasuk dirinya, mampu­ menembusnya.
“Jadi begini, semua yang memiliki awal pasti memiliki akhir. Dan kalau kamu masih bertanya kenapa orang-orang susah payah memulai sesuatu yang pasti akan berakhir, itu karena mereka ingin…” Revi menghela napas, sedang matanya tetap lapang, dan bahunya naik turun sesaat. “Aku dan kamu menginginkan hubungan ini sementara kita berdua tahu ini pasti bakal ada akhirnya, bukan? Tapi kenapa kita tetap memulai dan melanjutkannya? Karena kita sama-sama ingin,” lanjutnya.
Nadira merapatkan bibirnya, lalu berdehem pelan.
“Dir, nggak ada keabadian yang absolut didalam setiap hal kecuali akhir yang pasti. Kapan bakal terjadinya itu cuma masalah waktu,” Revi melanjutkan kalimatnya.
Bibir Nadira makin mengatup, dibuangnya pandangan ke arah aquarium kecil milik Revi yang belum terisi apa-apa. Masih kosong, sekosong pikirannya kini, “lalu bagaimana kamu menikmati sesuatu yang kamu tau sudah pasti berakhir?”
Revi tersenyum, sedikit kecut.
“Begini aja, kamu ingat waktu kita menikmati film-film yang sudah kita tonton di bioskop? Film-film itu rata-rata cuma berdurasi dua jam, kan? Tapi kita menikmatinya, padahal kita tau film itu bakalan habis. Atau…do you ever enjoyed your time here?” Revi balik bertanya.
Every second of it.”
Itu artinya kamu menikmati kesempatanmu untuk berada disini walaupun kamu tau kamu akan kembali pulang, kan. Itu bukti kalau kamu bisa memprediksi akhir, bahkan bersiap. Akhir selalu sesederhana itu, Dir.”
 “Dan kamu sudah memperkirakan akhir dari ini?”
“Sudah dari awal kita memulainya. Tapi aku nggak tau kapan. Bisa tahun depan, semester depan, bulan depan, besok, atau saat pesawatmu sudah landing nanti.” Revi tersenyum lebar sementara Nadira menghujaninya dengan pukulan ringan di bahu Revi.
“Kamu menyebalkan, Rev.”
“Kalau aku nggak semenyebalkan ini, kamu pasti nggak mau memulainya denganku, bukan?”
Nadira ingin mendaratkan satu pukulan pelan lagi ke kepala Revi, tapi ia menahannya. Nadira yakin Revi tau bahwa terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang masih mengantri untuk dibebaskan.
“Kamu pernah optimis, Rev?”
“Pernah. Setiap kali kamu bilang kalau kamu menyayangiku, setiap kali kamu datang, setiap kali kamu bilang mau menunggu beberapa tahun, dan setiap kali aku tau kamu memperhatikanku diam-diam. Tapi akhir ada dimana-mana, Dir. Kayak hantu, kamu tau?”
“Ya, aku tau,” hanya itu yang bisa Nadira lontarkan. Ia menyerah. Isi kepala Revi memiliki pintu baja yang terlalu tebal, terlalu mustahil untuk dipecahkan angka kombinasinya ataupun didobrak paksa.
Revi memandang mata Nadira yang kini dipusatkan kearah matanya. Mata sayu yang tak pernah dilewatkan Nadira untuk dipandangi selama berjam-jam kala masih tertutup dan dinaungi mimpi.
“Are you about to let go of me now?”
“Maybe.”
Then tell me how can I letting you go, Rev.
“You’ll surprise when you finally can.”
Tak ada kata lagi yang dilontarkan Nadira untuk membuka semua jaring-jaring pikiran Revi. Tak ada lagi jawaban Revi atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dipendam Nadira berminggu-minggu. Nadira hanya membenamkan kepalanya diantara leher dan bahu Revi, tempat favoritnya, sementara kepalanya masih berkecamuk dalam diam. Revi hanya menghela nafas pelan yang mengganjal kerongkongannya saat t-shirt putih dan bergambar graffiti berwarna hijau yang menempel pas di tubuhnya itu mulai terasa basah dibagian pundaknya.
***

Cinta Dengan Tanda Tanya



Udara Depok malam ini dingin. Biasanya tidak pernah sedingin ini. “Tumben”, pikirku. Pendingin ruangan sudah aku matikan sejak pagi. Bibir jendela kamar serasa sudah muak aku pandangi berjam-jam lamanya. Tidak, aku tidak melamun. Pikiranku hanya sedang buntu. Hingga saat ini, aku belum menemukan ujung maupun awalnya. Terlalu menggulung, kusut, rumit.
Masih jelas ingatan di benang-benang pikiranku, saat gadis berambut panjang pergi dari hadapanku dengan cermin air di matanya. Memori itu melekat seperti habis dioles dengan lem besi. Kuat.
Ah, bodoh.
Ku sulut satu batang berisi nikotin dan tar, kuhisap lalu kuhembuskan dalam-dalam.
***
Rara saat ini ada disampingku, memakai gaun berwarna pastel merah jambu dengan rambut gelombang berwarna ginger yang dibiarkan terurai. Dia cantik, sempurna, pikirku. Kedua tangannya saling mengait dan tatapannya lurus kedepan, khidmat memperhatikan pastur berbicara di depan altar. Tidak ada tempat yang lebih baik yang aku inginkan selain disamping perempuan yang sanggup membuat organ pemompa darah menjadi tak stabil. Aku sungguh menyukainya. Tidak, tergila-gila malah. Perlahan dia menoleh kearahku dan tersenyum bingung.
"Kenapa kamu merhatiin aku sebegitunya sih, pang?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat, malu. Aku yakin di pipiku saat ini sedang ada semburat warna merah.
"Nggak apa-apa. Kamu cuma...cantik banget, Ra."
Rara tertawa kecil melihatku yang tiba-tiba canggung. Dia kembali membentangkan pandangannya ke depan sedangkan aku kembali menciptakan ilusi-ilusi dan pikiran di dunia egoku sendiri.
Satu persatu wujud seorang perempuan manis muncul dipikiranku, entah darimana. Awalnya samar, lalu makin jelas. Dia, Aura. Pelan-pelan pikiranku bergulat dengan perbandingan antara Aura dengan Rara. Mereka tidak jauh berbeda. Hanya saja,  semesta selalu bertindak di luar kendali manusia. Aku mencintai Aura. Aku mencintai Rara. Namun, apa yang aku tahu tentang cinta? Ya, cinta—perdebatan dari zaman Plato hingga kini yang tak pernah ada habisnya.
Ya, aku mencintai perempuan yang sedang berdoa di sampingku ini. Sementara di luar sana, ada perempuan yang memberikan segala cinta yang aku butuhkan. Namun, aku tak bisa memberikan apa yang ia butuhkan.
Ironis? Entahlah, tapi perasaan memang tidak pernah sederhana.
Aku kira aku cukup mengerti tentang gagasan cinta. Namun, setelahnya aku sadar bahwa aku hanyalah pura-pura mengerti untuk menyembunyikan ketidaktahuanku. Tapi jika cinta hanya berbatas tentang dua orang yang saling mencintai dan cinta mereka sama besarnya tanpa terhalang suatu apapun, maka itu bukan cinta. Itu hanya perasaan-perasaan temporer—tidak abadi—yang berlindung di balik sebuah idealisme akan sakit dan bahagia disaat yang bersamaan.
Cinta?
***
Menjadi bahagia itu sederhana. Sesederhana merelakan kalung kesayanganmu hilang ditelan lautan saat kau bermain dengan ombak.
Tidak ada pertaruhan tanpa resiko. Dan untuk jatuh cinta adalah pertaruhan yang paling agung.
Kata mereka, dalam hidup, kita harus bertemu dengan dua orang.
Pertama, orang yang kamu cintai tapi tidak mencintaimu. Namun, hal itu bukan berarti ada sesuatu yang salah padamu atau Tuhan sedang membuatkanmu skenario kejam. Kamu hanya sedang diberikan kesempatan untuk terlatih mengenal rasa sakit yang abstrak dan tajam, merelakan, lalu bangkit lagi.
Kedua, orang yang mencintaimu namun kamu tidak mencintainya. Darinya, kamu akan belajar bahwa dicintai sebanyak itu adalah anugerah. Dan bahwa merasa bahagia itu sederhana; merasa dihargai. Darinya, kamu akan belajar bahwa kamu tidak bisa memilih seseorang berdasarkan belas kasihan.
Sekarang, bayangkan kamu menjadi aku, mana yang akan kamu pilih? Membiarkan dirimu bersama orang yang mencintaimu namun kamu tidak bisa bahagia bersamanya, atau bersama dengan orang yang kamu cintai namun memberikanmu kebahagiaan tunggal?
Hidup kadang sederhana pula, pilihan-pilihannya lah yang membuatnya menjadi sulit. Dan saat ini aku hanya membiarkan diriku sendiri menjemput pahit dan getir kebimbangan.
Cinta? Cinta.