Kamu tau sebuah
awal dan sebuah akhir? Ya, kedua hal itu ada di dunia seperti bayi kembar siam. Menempel,
melekat dengan kuatnya di geligi setiap cerita. Mendobrak masuk ke dalam roda
kehidupan tanpa bisa dipisahkan. Kamu tau kenapa sebuah akhir selalu berada
diujung? Agar ia bisa memaksamu mengingat bagaimana sebuah awal mengambil alih
pikiranmu. Sedangkan awal tidak pernah memperkenalkan sebuah akhir.
Tidak ada satu
hal pun yang abadi kecuali keabadian akan akhir. Dan tidak ada yang mampu
memprediksikan sebuah akhir. Kamu hanya harus mempersiapkan dirimu sebaik
mungkin jika suatu saat kamu sudah mendekatinya atau saat kamu sadar bahwa inilah
saat yang paling tepat untuk mempersilahkan sebuah akhir untuk masuk.
Lalu bagaimana
jika sebuah akhir mengetuk pintu kamarmu terlalu cepat? Bagaimana jika ia
datang pada saat kamu masih setengah sadar, saat kamu masih memakai baju tidur
sehabis beradu dengan mimpi?
***
Jika semua memiliki akhir seperti yang memang sudah seharusnya, lalu mengapa
setiap orang harus bersusah payah memulai?
***
Matahari sudah
hilang sempurna sejak setengah jam lalu. Deru lafal adzan sudah berhenti sejak
tadi dan gerimis mulai mengambil alih setelah senja habis. Revi duduk bersandar
ke dinding warna pastel pucat yang dikotori tulisan tangan seorang perempuan
yang kini sedang duduk disampingnya, setahun lalu. Sedang perempuan berambut
sebahu itu sibuk
menjelajahi setiap jengkal ruangan dengan matanya yang bulat sambil bersandar
di sebelah Revi. Ruangan berukuran 4x5 meter itu masih terlihat sama dengan
terakhir kali dikunjunginya. Hanya sedikit lebih terlihat berantakan dengan
kabel charger, kaset game, plastik bekas dan baju-baju kotor Revi yang hampir
menutupi seluruh lantai ruangan.
Namanya Nadira.
Dan ia tampaknya masih belum lelah melucuti udara lembab dalam kamar Revi.
“Actually,
I got many things that I wanna ask to you.” Suara Nadira beradu dengan
suara televisi yang dibiarkan menyala.
“Apa?” Revi
mendelikkan matanya. Dia cukup tahu jika Nadira sudah berbicara dengan bahasa
asing seperti itu, maka hanya ada dua kemungkinan. Perempuan itu sedang sangat
serius atau kesal.
“But….” Nadira mengehela nafas pelan, “I don’t know where I should start.”
Revi
memandangnya dengan wajah datar, “Well,
kamu punya waktu semalaman untuk kamu bertanya dan aku akan menjawabnya.”
Mata Nadira
mencari-cari sesuatu di dalam mata Revi. Menatapnya dalam dan lekat, seolah
Nadira dapat menempelkan korneanya di dalam mata Revi.
“Hmm..bahasa
Indonesia saja, ya,” potong Revi saat Nadira sudah berancang-ancang akan
mengeluarkan sebaris pertanyaan.
Bibir Nadira
seketika mengunci dirinya dari kata-kata yang hampir terlotar. Senyum kesal
terlihat jelas di wajahnya yang dulu pernah membuat Revi terobsesi.
“Hmm..bagaimana
bisa kamu memulai sesuatu yang sudah pasti kamu tahu memiliki akhir?” ucapnya
setelah beberapa belas detik terdiam dan melayangkan matanya kearah dinding.
“Bagaimana bisa
kamu memutuskan untuk tetap memelihara seekor hewan peliharaan, contohnya ikan,
kalau kamu tau suatu saat nanti ikan itu juga bakalan mati? Semua hal punya
akhirnya masing-masing, Dir. Nggak terkecuali hubungan,” sahut Revi.
Dahi Nadira
mengerut. “Kalau semua memiliki akhir kayak yang memang sudah seharusnya,
kenapa setiap orang harus bersusah payah memulai?”
“Karena kamu
ingin.”
“Maksudmu?”
Kerutan di dahi Nadira terlihat makin nampak. Dia terlalu tersesat dengan
pikiran Revi. Pikirannya terlalu rumit, dan ada pelindung di setiap sisinya
yang tidak satu orang pun termasuk dirinya, mampu menembusnya.
“Jadi begini,
semua yang memiliki awal pasti memiliki akhir. Dan kalau kamu masih bertanya
kenapa orang-orang susah payah memulai sesuatu yang pasti akan berakhir, itu
karena mereka ingin…” Revi menghela napas, sedang matanya tetap lapang, dan
bahunya naik turun sesaat. “Aku dan kamu menginginkan hubungan ini sementara
kita berdua tahu ini pasti bakal ada akhirnya, bukan? Tapi kenapa kita tetap
memulai dan melanjutkannya? Karena kita sama-sama ingin,” lanjutnya.
Nadira
merapatkan bibirnya, lalu berdehem pelan.
“Dir, nggak ada
keabadian yang absolut didalam setiap hal kecuali akhir yang pasti. Kapan bakal
terjadinya itu cuma masalah waktu,” Revi melanjutkan kalimatnya.
Bibir Nadira
makin mengatup, dibuangnya pandangan ke arah aquarium kecil milik Revi yang
belum terisi apa-apa. Masih kosong, sekosong pikirannya kini, “lalu bagaimana
kamu menikmati sesuatu yang kamu tau sudah pasti berakhir?”
Revi tersenyum,
sedikit kecut.
“Begini aja,
kamu ingat waktu kita menikmati film-film yang sudah kita tonton di bioskop?
Film-film itu rata-rata cuma berdurasi dua jam, kan? Tapi kita menikmatinya,
padahal kita tau film itu bakalan habis. Atau…do you ever enjoyed your time here?” Revi balik bertanya.
“Every second of it.”
“Itu artinya kamu menikmati kesempatanmu
untuk berada disini walaupun kamu tau kamu akan kembali pulang, kan. Itu bukti
kalau kamu bisa memprediksi akhir, bahkan bersiap. Akhir selalu sesederhana
itu, Dir.”
“Dan kamu sudah memperkirakan akhir dari ini?”
“Sudah dari awal
kita memulainya. Tapi aku nggak tau kapan. Bisa tahun depan, semester depan,
bulan depan, besok, atau saat pesawatmu sudah landing nanti.” Revi tersenyum lebar sementara Nadira menghujaninya
dengan pukulan ringan di bahu Revi.
“Kamu
menyebalkan, Rev.”
“Kalau aku nggak
semenyebalkan ini, kamu pasti nggak mau memulainya denganku, bukan?”
Nadira ingin
mendaratkan satu pukulan pelan lagi ke kepala Revi, tapi ia menahannya. Nadira
yakin Revi tau bahwa terlalu banyak pertanyaan di kepalanya yang masih
mengantri untuk dibebaskan.
“Kamu pernah
optimis, Rev?”
“Pernah. Setiap
kali kamu bilang kalau kamu menyayangiku, setiap kali kamu datang, setiap kali
kamu bilang mau menunggu beberapa tahun, dan setiap kali aku tau kamu
memperhatikanku diam-diam. Tapi akhir ada dimana-mana, Dir. Kayak hantu, kamu
tau?”
“Ya, aku tau,”
hanya itu yang bisa Nadira lontarkan. Ia menyerah. Isi kepala Revi memiliki
pintu baja yang terlalu tebal, terlalu mustahil untuk dipecahkan angka
kombinasinya ataupun didobrak paksa.
Revi memandang
mata Nadira yang kini dipusatkan kearah matanya. Mata sayu yang tak pernah
dilewatkan Nadira untuk dipandangi selama berjam-jam kala masih tertutup dan
dinaungi mimpi.
“Are you about to let go of me now?”
“Maybe.”
“Then tell me how can I letting you go, Rev.”
“You’ll surprise when you finally can.”
Tak ada kata
lagi yang dilontarkan Nadira untuk membuka semua jaring-jaring pikiran Revi.
Tak ada lagi jawaban Revi atas pertanyaan-pertanyaan yang telah dipendam Nadira
berminggu-minggu. Nadira hanya membenamkan kepalanya diantara leher dan bahu
Revi, tempat favoritnya, sementara kepalanya masih berkecamuk dalam diam. Revi
hanya menghela nafas pelan yang mengganjal kerongkongannya saat t-shirt putih
dan bergambar graffiti berwarna hijau yang menempel pas di tubuhnya itu mulai
terasa basah dibagian pundaknya.
***